Thursday 28 July 2011

Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam

Tidak pernah ada peradaban yang berkembang tanpa dukungan struktural yang kokoh. Setiap peradaban hampir selalu melalui tiga fase besar untuk berkembang. Pertama, fase perumusan ideologi dan pemikiran; kedua, fase strukturalisasi; dan ketiga, fase perluasan (ekspansi). Ideologi-ideologi besar semuanya mengalami tiga fase tersebut. Lih...atlah Komunisme, Kapitalisme Barat, dan tak boleh dilupakan: Zionisme Internasional.

Jika kebangunan (peradaban) Islam modern telah dimulai secara individu oleh para tokoh dan pemikir seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Dr. Muh. Iqbal, Muh. Abduh, Muh. Rasyid Ridha, dan seterusnya, maka rintisan pemikiran yang bersifat individual itu disambut secara lebih tertata, diantaranya dua tokoh pemuka da'wah yang tidak bisa dilupakan jika berbicara tentang kebangkitan Islam, yaitu Abul A'la Maududi dengan Jama'at Islaminya, dan asy-Syahid Hasan al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya.
Dua pemuka inilah yang meletakkan dasar-dasar struktural gerakan kebangkitan Islam. Keduanya memiliki gagasan dasar yang sama. Bahwa kejayaan Islam dan mengembalikan Kekhilafahan Islam harus dimulai dari bawah, artinya persoalan aqidah yang kokoh, pemahaman syariah yang menyeluruh, dan pembenahan akhlaq yang benar. Pembenahannya harus dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, negeri, dan barulah khilafah Islamiyah. Kedua tokoh itu pun punya perbedaan sedikit. Maududi dengan Jama'at Islaminya banyak menunjukkan figurisme Maududi dan lemah dalam kaderisasi. Maududi lebih banyak berceramah dan menulis buku daripada 'mencetak' kader. Begitu pula pergerakannya yang terbatas di anak benua India-Pakistan. Sedangkan pada Ikhwanul Muslimin, meski asy-Sahid Hassan al Banna adalah tokok utama, tetapi tidak menyebabkan munculnya figurisme. Wibawa Ikhwanul Muslimin tidak berkurang dengan meninggalnya Hassan al-Banna. Pergerakannya meluas ke hampir seluruh dunia. Sekurang-kurangnya pengaruh pemikirannya. Beliau lebih 'mencetak' orang daripada menulis buku. Dari para muridnya, muncullah pemikiran-pemikiran yang luar biasa. Bisa diambil contoh, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hassan al-Hudaibi, Umar Tilmisani, Dr. Yusuf Qordhowi, Musthafa Masyhur, Dr. Ali Juraishah, Syeikh Ahmad Qaththan, Dr. Musthafa as-Siba'io, dan lain-lainnya. Hassan al Banna dalam usianya yang pendek yaitu 43 tahun, memang terlalu singkat untuk sampai pada figurisme. Beliau seolah-olah hidup dan dilahirkan di bumi ini untuk memulai dan meletakkan dasar-dasar pergerakan dan da'wah Islam yang asli yang telah hilang di kalangan kaum Muslimin pada abad modern. Metode pergerakannya terus dikembangkan oleh para muridnya tanpa rasa khawatir akan kehilangan originalitas itu sendiri.
Sementara itu, gelombang kebangkitan Islam terus bergerak dengan tantangan-tantangan yang semakin berat. Fenomena kebangkitan Islam muncul di seluruh dunia. Palestina, tanah waqaf Islam, dari sanalah semangat jihad ditiupkan sampai hari kiamat. Tiupan itu menumbuhkan Gerakan Intifadhah, gerakan yang sulit ditumpas oleh Israel dibanding perlawanan negara-negara Arab, Islamic Trend Movement di Tunisia, Front Keselamatan Islam di Aljazair, Ikhwanul Muslimin di Jordan, dan perjuangan Mujahidin Afghanistan yang berjuang mengusir tentara Sovyet. Kebangkitan Islam juga diwarnai dengan berbagai pusat-pusat studi Islam di Barat dan penerbitan buku-buku Islam yang terus membanjir. Kenyataan ini tentu membangkitkan optimisme, meski tidak menutup mata terhadap meningkatnya sekularisme dalam berbagai aspek kehidupan.
Fenomena kebangkitan Islam di Indonesia juga ditandai dengan beberapa hal yang menarik dikaji. Di kota-kota besar, di kampus-kampus, di sebagian kelas menengah, mereka mulai 'belajar' Islam. Isu pembangunan yang dimulai tahun 70-an dan membawa dampak medernisasi dan sekularisme membuat terjadinya arus balik pada tahun 80-an. Mungkin ekses pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi menyebabkan manusia kekeringan spiritual. Ini yang menyebabkan munculnya berbagai kajian tentang Islam dengan berbagai modelnya. Fenomena lain sebelum tahun 80-an, jika berbicara tentang Islam dan gerakannya maka orang akan menoleh ke organisasi-organisasi Islam atau partai politik Islam seperti PPP, NU, Muhammadiyah, HMI, PII, dan seterusnya. Seolah-olah yang punya Islam dan dakwahnya hanyalah mereka. Gejala ini mulai mencair menjelang tahun 80-an. Memang nasib dakwah Islam tidak bisa diserahkan hanya pada organisasi atau partai politik Islam. Di sisi lain muncul kenyataan: organisasi-organisasi itu semakin kurang cekatan dalam merespons aspirasi-aspirasi Islam. Dalam beberapa segi terjadi beberapa 'keletihan' (fatigue) karena kurangnya terobosan-terobosan pemikiran yang strategis. Organisasi-organisasi itu mulai digugat oleh sebagian pendukungnya karena semakin kabur dalam menentukan tujuan akhir yang hendak dicapai. Bahkan di kalangan kampus, HMI kurang mendapatkan pasaran bagi mahasiswa yang mau aktif dan mendalami Islam. Juga tidak menutup mata tentang gerak organisasi-organisasi tersebut semakin terbatas. Oleh karenanya muncul kesadaran baru bahwa dakwah Islam bukanlah monopoli ormas dan orpol Islam, tetapi menjadi kewajiban setiap individu Muslim. Apakah ia bergabung atau tidak dalam organisasi tersebut sementara dakwah yang dilakukan secara bebas dalam kelompok-kelompok kecil, yayasan-yayasan terasa lebih lincah. Kritik lain terhadap ormas-orpol Islam itu antara lain: gaya kerja dan manajemen yang 'agak kebarat-baratan' yang melonggarkan nilai-nilai agama yang mereka canangkan sendiri sebagai doktrin. Misalnya, pemahamannya tentang demokrasi yang cenderung liberal.
Gejala ini memunculkan kecendurungan baru, munculnya isu 'jama'ah'. Terdapat dua kecendurungan yang saling bertentangan. Satu pihak, mereka yang alergi dengan isu 'jama'ah'. Biasanya mereka yang sudah mapan aktifitas dalam ormas-ormas Islam, atau karena kepentingan politiknya sehingga menganggap isu 'jama'ah' itu adalah isu politik. Atau mereka yang sudah merasa cukup dengan mengartikan bahwa perintah berjama'ah itu sudah dilaksanakan dengan melalui ormas-ormas itu. Di pihak lain, mereka menganggap ormas-ormas itu 'bukanlah jama'ah' sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw., baik karena kelakuan, cara berfikir anggota pendukungnya, ataupun karena mekanisme yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Gejala lain adalah munculnya fenomena sempalan. Sebab utamanya bisa diduga karena tersumbatnya aspirasi utama kaum Muslimin. Aspirasi utama (mainstream) - karena halangan politis dan birokratis - menyebab-kan aspirasi-aspirasi murni Islam tidak tertampung sehingga muncullah gerakan sempalan, baik di bidang ideologi, pemikiran syari'ah, maupun pola-pola pergerakan.
Melihat kecendurungan di atas, maka harus ada kajian secara mendalam dan dewasa. Dan, untuk itulah buku ini ditulis.
Kandungan Buku
Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz Husain Jabir telah berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syari'at Islam yang menunjukkan betapa pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali pembahasannya dengan mengupas makna umat Islam, baik dari bahasa maupun geografis. Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi syura sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh umat tanpa adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya (kepemimpinan), bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan berasal dari keturunan Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis berpendapat bahwa manakala kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi adanya lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah, berarti pada saat itulah sebuah Jama'atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya. Oleh karenanya, bagian pertama ini ia akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama'atul Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa perlu untuk membicarakannya di sini.
Menurut al-Ustadz Husain jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul Muslimin, yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2. Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3. Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4. Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)
Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1. Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5. Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang benar (syahadatain)
Olehnya, dapatlah kita fahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini, beliau mengajukan sebuah pertanyaan: "Adakah Jama'atul Muslimin di dunia sekarang ini?" Dan kemudian beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam yang ada saat ini tidak satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama'atul Muslimin yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq ila Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian pentingnya sehingga penulis menjadikanya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini secara keseluruhan. Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-Islamiyah (Hukum-hukum Islam).
Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin, mempunyai persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam merupakan aturan yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum yang sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di beberapa negeri muslim yang memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis rajam bagi pezina, atau potong tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspose oleh berbagai surat kabar dan majalah dengan suatu pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini terjadi?
Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way of life atau minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu menyisipkan bahasan yang diberi judul "Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam." Manakala Islam dipahami secara syamil, niscaya penerpaan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum pidana, melainkan juga pemberlakuan ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua akan diselenggarakan berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, al-Islam. Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam, terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat bagaimana berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang sudah barang tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk memotong tangan sebagai sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain pengelolaan zakat sebagai landasan di dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan, tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di tengah kaum muda umat. Inilah peringatan Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur'an:
Apakah kamu beriman kepada sebagaian al-kitab (Qur'an) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada sisksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 85)
Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah (kemampuan sektoral dan terbatas). Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara utuh manakala kaum muslimin menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara jama'i (kolektif). Harus ada suatu upaya ‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin. Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah terbentuknya sebuah tatanan dakwah yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus pembahasan penulis.
Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan "langkah pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama'ah". Setelah itu beliau membahas "Rambu-rambu dari sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah" yang berisi enam karakteristik pokok sebuah jamaah, antara lain:
* Nasyr mabaadi’ ad-da’wah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
* At-takwin ‘alaa ad-da’wah (Pembentukan Dakwah)
* Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
* Al-sirriyah fi binaa’al-jama’ah (sirriyah dalam membina jama’ah)
* Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
* Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)
Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas "Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim". Dan yang terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang telah diuraikan secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir.
Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul "al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah fii Haql ad-Da’wah al-Islamiyyah" (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau mengangkat beberapa kasus dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung membahas satu per satu jamaah Islam yang ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal "Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah Utsmaniyah".
Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili kecenderungan berbeda.
Pertama, Jama'ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir. Jama'ah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan (ijtimaiyyah wa ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.
Kedua, Jama'ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sufiyyah.
Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi pada seruan Politik (as-siyasi).
Keempat, Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap bahwa jama'ah ini mewakili gerkan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh). Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek sufiyyah dan aspek siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan Jihad). [Sumber: Dr. Salim Segaf al-Jufri, Kata Pengantar buku Menuju Jama'atul Muslimin]

Monday 25 July 2011

Dari Gerakan Ke Negara

ANIS MATA : DARI GERAKAN KE NEGARA

Rencana itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin musyrik Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak wajah yang terasa perlahan-lahan enghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada berita. Tidak ada ya...ng tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah proses hijrah hampir selesai.
Maka gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah telah dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan “orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban” mereka.
Tanah, dalam agama ini, adalah persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah adalah manusia maka di sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam ruang pikiran, ruang jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi penting ketika komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai sebuah entitas politik.
Karena tanah hanya merupakan persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah tempat hijrah diperluas oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin, dalam jumlah yang lebih kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian berhijrah keseluruhan ke Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah seluruhnya ke madinah, mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak serta merta dipanggil oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima atau enam tahun kemudian.
Ketika mereka tiba di Madinah, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin baru saja memenangkan perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip dengan sebuah pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang Khandaq. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu dengan apa aku digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”
Dari Gerakan Ke Negara
Hijrah, dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan” menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah, masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.
Kalau individu membutuhkan aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah komunitas Muslim menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah SWT menurunkan perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain. Lengkaplah sudah susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.
Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua yang mungkin dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan negara. Pertama, membangun infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antarkomunitas darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama, antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem pertahanan negara melalui konsep Jihad fi Sabilillah.
Lima tahun pertama setelah hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW beserta para shahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua peperangan itu adalah perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan dan kemandiriannya, eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan kebenarannya.
Jadi, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja.
Islam adalah sistem itu. Oleh karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut. Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.
Selain kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama, tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda netral, yang akan mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga merupakan tempat Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya kehidupan manusia.
Kedua, jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.
Itulah perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah, dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara implisit, sebenarnya unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan unsur kepemimpinan sudah masuk ke dalam unsur manusia.
Itulah semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang diperlukan dalam mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan itulah yang kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat cepat.
Begitulah transformasi itu terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia menjelma jadi negara; ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah terpenuhi, negara itu tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumu manapun ia tegak. Proses transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala yang sangat besar. Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar: pertama, tentang hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial. Kedua, tentang hakikat negara dan fungsinya.
Perubahan Sosial
Tujuan dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita sebut agama, tau syariah- dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan keribadian individu, mulai dari cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial ekonomi politik yang juga baru.
Begitulah Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip dstribusi sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.
Model perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)
Fungsi Negara
Dalam konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum, adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada.
Sebagai institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer, hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali, yang sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara dunia atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa tunggal dan majemuk.
Oleh karena itu semua merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak statis, maka Islam tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat Allah SWT. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan sekarang berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki, presidensiil, dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih efektif menjalankan peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang sebenarnya lebih mirip dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya tidaklah ditentukan semata oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi terutama oleh suprastrukturnya, yaitu manusia.
Namun demikian, kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna negara Islam dengan membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan perdata, serta etika sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara Islam lebih berciri moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa syariat Allah itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara sepurna; tujuan hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah SWT serta rasa aman dan kesejahteraan hidup.
Hukum-hukum Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak penerapan syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”
Alangkah dalamnya penghayatan Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya Allah lindungilah kami dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang perkasa dan tangguh.” Inilah sesungguhnya misi gerakan Islam: melahirkan orang-orang baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik

Friday 22 July 2011

Nasehat Syeih Jum'a Amin kepada Kader Dakwah

-Jangan terlalu fokus dengan sebab-sebab materi untuk mencapai kemenangan, tapi kurang fokus pada رَبُّ الْاَسْبَاب "Rabbul asbaab" (Allah yang menjadi Tuhan/Pemilik dari sebab-sebab).

-Jangan terlalu fokus dgn manajemen, idariyah, takhtith (perencanaan), tapi kurang fokus dalam hak-hak Allah. Takhtith dan manajemen baru efektif kalau dilakukan oleh tangan yg berwudhu, kening yg banyak sujud, jiwa yg khusyu', hati yg tenang dan tunduk pd Allah. Tanpa itu, sehebat-hebatnya manajemen dan takhtith yg dilakukan takkan memberi kemenangan.

-Apa yg dianggap orang adalah nafilah (sunah), bagi antum bernilai faridhah (wajib). Dimana posisi antum dalam tilawah minimal 1 juz sehari? Dimana posisi antum dlm raka'at-raka'at saat malam? Dimana posisi antum dalam infak? Dimana posisi antum dlm raka'at dhuha?

-Lawan politik uang yg biasa dijadikan senjata lawan2 politik antum dengan akhlak, dengan ukhuwwah, dan dengan ubudiyah.... Bukan dengan uang juga.

-Senjata antum hanya dua: hubungan baik dgn Allah dan akhlak dgn manusia. Dengan itu, dua cinta berhimpun, cinta Allah dan cinta manusia. Ustadz al-Banna mengatakan: nahnu nuqaatil an naas bil hubb (Kita menaklukan manusia dengan cinta)

Kepada Para Pemuda

Kajian Manhaj
Hasan Al Banna dalam risalahnya secara khusus pernah menyeru kepada para pemuda (Ila Syabab) dalam muktamar ke lima. Pertama, al-Banna meyakinkan bahwa kalian tidak lebih lemah dari kaum-kaum sebelumnya. Olehnya, janganlah merasa lemah tidak berdaya.
Setiap cobaan dan rintangan justru akan menambah keyakinan dan merapatkan hubungan dengan Allah.
Untuk itu, sebelum kita bergelut dimedan dakwah, poin pertama kali yang harus dimulai adalah memahami Islam dari sumbernya yang murni, seperti para Sahabat memahami Islam. Islam yang paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan, perkara dunia dan akhirat. singkatnya Islam adalah agama dan negara, mushaf dan pedang.
Setelah fikrah Islam telah terpatri, pada poin kedua al banna menginginkan sosok pemuda yang memiliki karakter keimanan, keikhlasan, semangat dan kerja keras.
Sampai sini, saya ingin memberikan komentar. bahwa semakin kita mengenal Islam dengan pemahaman yang semestinya.maka semakin banyak pula tugas seorang pemuda terhadap agamanya. Tugas itu tidak terbatas hanya pada solat dan dzikir semata, puasa dan tilawah. tapi sebaik-baik keislaman adalah seperti yang digambarkan sejarah terhadap para sahabat rasulullah dengan sebuah identitas " Layaknya pendeta di malam hari dan seperti penunggang kuda di siang hari".
Indonesia yang telah mengenal dakwah Islam lebih dari 7 abad yang lalu, sepatutnya telah mendarah daging ditubuh umat, menjadi referensi perundangan negara, dan membudaya di tengah masyarakat. Namun kenyataan itu dapat kita jawab (silahkan antum menjawabya).
Dari sini poin kedua kita bahas. Harakah para pemuda, peran dan kontribusinya. Keempat karakter itu harus ada terlebih dahulu. dan tentunta ia tidak ada dengan sendirinya. Ia harus di jaga dan ditingkatkan, ia harus dirawat dan di kembangkan. melalui cara yang dulu pernah nabi lakukan di rumah Baitul Arqam, dengan TARBIYAH

memoar dakwah

85 tahun yang lalu empat orang ulama Mesir berkumpul siang malam untuk memikirkan problematika umat islam pasca runtuhnya turki usmani, mereka berusaha mendiagnosa penyakit dan mencari penawarnya, sementara manusia lainnya hanyut dengan membunuh kehidupannya di warung kopi. Sekarang rintisan keempat ulama itu telah melahirkan para mujahid dakwah di seluruh dunia, Mereka sekarang berjuang untuk membebaskan bumi Palestin, Merekapun yang berusaha mendirikan kaliamt Allah dimuka Bumi, Mereka menentang kezaliman para penguasa zhalim di negri-negri Islam. Mereka yang menyeru siang malam agar umat Islam mempersembahkan hidupnya dijalan dakwah.
Samakah antara orang yang menghabiskan waktunya dalam kesia-siaan dengan mereka yang Mempersembahkan hidupnya untuk berjuang,
dalam ayat-ayat al-Qur'an kita selalu menemukan ayat-ayat Allah yang memulyakan mereka yang berjuang dan berjihad dijalan Allah.
Mari kita persembahkan hidup ini untuk itu.